Andaikata Aku Bisa
Memberi Lebih Banyak Lagi
Seperti yang telah biasa
dilakukan ketika salah satu sahabatnya meninggal dunia, maka Rasulullah SAW
mengantar jenazahnya sampai ke kuburan. Dan pada saat pulangnya disempatkannya
singgah untuk menghibur dan menenangkan keluarga almarhum supaya tetap bersabar
dan tawakal menerima musibah itu.Kisahnya begini. Pada suatu hari ia sedang bergegas akan ke masjid untuk melaksanakan shalat Jum’at. Ditengah jalan ia berjumpa dengan orang buta yang bertujuan sama. Si buta itu tersaruk-saruk karena tidak ada yang menuntun. Maka suamimu yang membimbingnya hingga tiba di masjid. Tatkala hendak menghembuskan nafas penghabisan, ia menyaksikan pahala amal sholehnya itu, lalu iapun berkata “Andaikan lebih jauh lagi”. Maksudnya, andaikata jalan ke masjid itu lebih jauh lagi, pasti pahalanya lebih besar pula.
Ucapan lainnya ya Rasulullah SAW?” tanya sang istri mulai tertarik. Nabi menjawab, “Adapun ucapannya yang kedua dikatakannya tatkala, ia melihat hasil perbuatannya yang lain. Sebab pada hari berikutnya, waktu ia pergi ke masjid pagi-pagi, sedangkan cuaca dingin sekali, di tepi jalan ia melihat seorang lelaki tua yang tengah duduk menggigil, kedinginan. Kebetulan suamimu membawa sebuah mantel baru, selain yang dipakainya. Maka ia mencopot mantelnya yang lama, diberikannya kepada lelaki tersebut. Dan mantelnya yang baru lalu dikenakannya. Menjelang saat-saat terakhirnya, suamimu melihat balasan amal kebajikannya itu sehingga ia pun menyesal dan berkata, “Andaikata yang masih baru kuberikan kepadanya dan bukan mantelku yang lama, pasti pahalaku jauh lebih besar lagi”. Itulah yang dikatakan suamimu selengkapnya.
Kemudian, ucapannya yang ketiga, apa maksudnya, ya Rasulullah SAW?” tanya sang istri makin ingin tahu. Dengan sabar Nabi menjelaskan, “Ingatkah kamu pada suatu ketika suamimu datang dalam keadaan sangat lapar dan meminta disediakan makanan? Engkau menghidangkan sepotong roti yang telah dicampur dengan daging. Namun, tatkala hendak dimakannya, tiba-tiba seorang musafir mengetuk pintu dan meminta makanan. Suamimu lantas membagi rotinya menjadi dua potong, yang sebelah diberikan kepada musafir itu. Dengan demikian, pada waktu suamimu akan menghembuskan nafasnya, ia menyaksikan betapa besarnya pahala dari amalannya itu. Karenanya, ia pun menyesal dan berkata ‘kalau aku tahu begini hasilnya, musafir itu tidak hanya kuberi separoh. Sebab andaikata semuanya kuberikan kepadanya, sudah pasti ganjaranku akan berlipat ganda.
Begitulah keadilan Tuhan. Pada hakekatnya, apabila kita berbuat baik, sebetulnya kita juga yang beruntung, bukan orang lain. Lantaran segala tindak-tanduk kita tidak lepas dari penilaian Allah. Sama halnya jika kita berbuat buruk. Akibatnya juga menimpa kita sendiri. “Kalau kamu berbuat baik, sebetulnya kamu berbuat baik untuk dirimu. Dan jika kamu berbuat buruk, berarti kamu telah berbuat buruk atas dirimu pula.” (QS.Al Isra’: 7)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar